Sebentar lagi akhir tahun, tentu akan ada pembagian THR atau Bonus, syukur-syukur kalau kedua-duanya :-) Amin !. Bagaimana menghitung Pasal 21 atas bonus atau THR ?

Langsung ke contoh kasus...

Masih dengan subyek pajak yang sama, yaitu saudara Budi......


Budi, status sudah menikah dengan 2 orang anak, bekerja pada PT. Royal Bali Cemerlang, memperoleh Gaji Pokok Rp 10,000,000,- setiap bulannya. PT. Royal Bali Cemerlang mengikut sertakan Budi masuk asuransi (JAMSOSTEK), untuk itu PT. Royal Bali Cemerlang membayar :
Premi Jaminan Hari Tua (JHT) = 3.7% dari Gaji Pokok
Premi Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) = 0.5% dari Gaji Pokok
Premi Jaminan Kematian (JK) = 0.30% dari Gaji Pokok

Budi menanggung :
Iuran Jaminan Hari Tua (JHT) = 0.2% dari Gaji Pokok

PT. Royal Bali Cemerlang juga mengikut sertakan Budi ke dalama program pensiun, untuk itu perusahaan membayar premi pensiun untuk Budi sebesar Rp 150,000 setiap bulannya, sedangkan budi juga harus membayar Rp 100,000 setiap bulannya yang langsung di potongkan dari Gajinya. Setiap tanggal 31 Desember PT. Royal Bali Cemerlang membagikan Bonus sebesar 1 x (satu kali) Gaji Pokok, untuk itu di bulan Desember ini, disamping menerima Gaji, Budi juga menerima Bonus. PT. Royal Bali Cemerlang masih memberikan Tunjangan Pajak sebesar Rp 250,000,- kepada Budi.



Perhitungan PPh Pasal 21 nya

Merumuskan Elemen Gaji dan pengahsilan-penghasilan lain yang menyertainya selalu perlu kita lakukan (apapun kasus-nya), hal ini semata-mata hanya untuk bisa memperjelas kasus dan penentuan angka-angka yang akan kita masukkan ke dalam perhitungan PPh Pasal 21 nya nanti. Jika anda sudah terbiasa, mungkin suatu saat nanti anda tidak akan perlu melakukannya. Perumusannya kurang lebih akan seperti di bawah ini :



Perhatikan rumusan di atas :

Bonus di masukkan di bawah Gaji Pokok, sebesar 1 x Gaji pokok Budi, yaitu Rp 10,000,000,- dan Tunjangan Pajak sebesar Rp 250,000,- di masukkan ke kelompok Tunjangan.

Selanjutnya kita mulai melakukan penghitungan PPh pasal 21-nya. Di bulan Desember ini PPh Pasal 21 yang harus dihitung dan dipotongkan kepada karyawan ada 2 (dua) macam, yaitu :

(-) PPh Pasal 21 atas Bonus
(-) PPh Pasal 21 atas Gaji Bulan Desember 2007

Untuk itu jalannya menjadi sedikit lebih panjang dibandingkan dengan cara penghitungan PPh Pasal 21 pada kasus lainnya.

Ada 3 Step Penghitungan, yaitu :

[Step-1]. Menghitung PPh Pasal 21 atas "Gaji & Bonus" setahun.
[Step-2]. Menghitung PPh Pasal 21 atas "Gaji" saja Setahun.
[Step-3].Menentukan Besarnya PPh atas bonus saja, menentukan pph pasal 21 atas Gaji Bulan Desember.

Ketiga step tersebut saya tuangkan ke dalam screen shoot- screen shoot di bawah ini :




Penjelasan Perhitungan :


[Step-1]. Pada langkah pertama ini, semua unsur disetahunkan : Gaji, Bonus, Tunjangan-tunjangan, pengurangan-pengurangan pun disetahunkan, PTKP seperti biasa memang selalu PTK setahun, mengapa perlu disetahunkan terlebih dahulu ?, karena kita akan menghitung PPh Pasal 21 atas "Bonus" yang diterima hanya setahun sekali, dengan kata lain : bonus bukanlah penghasilan yang diterimma rutin setiap bulan. Maka dari itu untuk menghitungnya makan elemen-elemen perhitungan yang lain pun perlu disetahunkan. Dari hasil perhitungan di step-1 ini, kita peroleh besarnya PPh Pasal 21 atas "Gaji & Bonus".

[Step-2]. Pada langkah kedua ini, kita menentukan besarnya PPh Pasal 21 atas Gaji saja, hal ini diperlukan untuk menetukan besarnya atas PPh apasal 21 atas bonus saja, dan besarnya PPh Pasal 21 atas Gaji Bulan Desember 2007. Pada step ini, smua elemen perhitungan juga kita setahunkan terlebih dahulu, lalu kita hitung. Diakhir perhitungan step-2 ini, kita akan memperoleh besarnya PPh Pasal 21 atas Gaji setahun.

[Step-3]. Pada step-1 kita sudah menentukan besarnya PPh Pasal 21 atas "Gaji & Bonus Setahun" dan pada step-2 kita telah memperoleh besarnya PPh Pasal 21 atas "Gaji Setahun". Pada Step-3 ini, kita hitung besarnya PPh atas "Bonus" yang pada contoh kausus ini adalah sebesar Rp 1,500,000,- diperoleh dengan cara : step-1 [dikurangi] step-2. Sedangkan PPh atas Gaji bulan Desember adalah sebesar Rp 965,800, diperoleh dengan cara : step-2 [dibagi] 12. Untuk menentukan besarnya Total PPh Pasal 21 yang terhutang pada bulan Desember, dihitung dengan cara menjumlahkan PPH pasal 21 atas bonus dengan PPh Pasal 21 atas Gaji Bulan Desember. Untuk menentukan besarnya PPh Pasal 21 yang dipotongkan dari penghasilan Budi, dihitung dengan cara Mengurangkan Total PPh pasal 21 Bulan Desember terhutang dengan Tunjangan Pajaknya.


Jurnal (Pencatatan) Akuntansi Atas Gaji dan PPh Pasal 21 nya


Atas pembayaran Bonus dan Gaji pada bulan desember ini, pada buku perusahaan dilakukan pencatatan berturut-turut (sesuai dengan urutan transaksinya) yaitu :




Bagaimana perlakuan "Bonus" pada pelaporannya ?.

Laporan Komersial : Bonus tetap dibebankan sebagai biaya, hal ini tetap harus dilakukan, bagaimanapun ada sejumlah kas yang keluar atas bonus ini.

Pada Laporan Fiskal : Bonus tidak diakui sebagai beban (biaya), melainkan diperlakukan sebagai koreksi fiskal positif, sama seperti pemberian sumbangan, makan, minum dan bentuj kenikmatan natura lainnya.

Kasus PPh Pasal 21 lainnya :

Perhitungan & Jurnal PPh 21 - Tunjangan Asuransi [-baca-]
Perhitungan & Jurnal PPh 21 - Tengah Tahun [-baca-]
Perhitungan & Jurnal PPh 21 - Subsidi & Tunjangan Pajak
[-baca-]

Selengkapnya...

Pada kasus PPh Pasal 21 kali ini, yang dibahas adalah perhitungan dan jurnal akuntansi PPh Pasal 21 dimana karyawan memperoleh Tunjangan Pajak atau memperoleh subsidi pajak.

Apa bedanya tunjangan PPh Pasal 21 dengan Subsidi PPh Pasal 21 ? dan apa pengaruhnya terhadap PPh Badan ?.

Kita langsung ke kasus-nya......



Kasus : PPh Pasal 21 dengan Tunjangan PPh Pasal 21 dan Subsidi PPh Pasal 21

Budi, status sudah menikah dengan 2 orang anak, bekerja pada PT. Royal Bali Cemerlang, memperoleh Gaji Pokok Rp 10,000,000 setiap bulannya. PT. Royal Bali Cemerlang mengikut sertakan Budi masuk asuransi (JAMSOSTEK), untuk itu PT. Royal Bali Cemerlang membayar :
Premi Jaminan Hari Tua (JHT) = 3.7% dari Gaji Pokok
Premi Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) = 0.5% dari Gaji Pokok
Premi Jaminan Kematian (JK) = 0.30% dari Gaji Pokok

Sedangkan Budi menanggung :
Iuran Jaminan Hari Tua (JHT) = 0.2% dari Gaji Pokok

PT. Royal Bali Cemerlang juga mengikut sertakan Budi ke dalama program pensiun, untuk itu perusahaan membayar premi pensiun untuk Budi sebesar Rp 150,000 setiap bulannya, sedangkan Budi juga harus membayar Rp 100,000 setiap bulannya yang langsung di potongkan dari Gajinya.


Budi memperoleh Tunjangan PPh Pasal 21 dari PT. Royal Bali Cemerlang sebesar Rp 250,000,- setiap bulannya !



Perhitungan PPh Pasal 21 nya (Dengan Tunjangan PPh Pasal 21)

Sama seperti kasus-kasus lainnya, tetap kita membuat perhitungan gaji dan tunjangan-tunjangannya, hingga dapat kita tentukan nilai Rupiah yang ditanggung oleh perusahaan maupun yang ditanggung oleh Budi. Maka akan kita peroleh perhitungan sebagai berikut :


Kita perhatikan perhitungan di atas :

"Tunjangan Pajak" berwarna biru ditambahkan pada kelompok tunjangan, sehingga total tunjangan yang dibayarkan oleh perusahan menjadi Rp 850,000,- (yaitu : 600,000 + 250,000).

Perhitungan PPh Pasal 21 nya akan menjadi sebagai berikut :


Perhatikan perhitungan di atas :

Tunjangan Pajak sebesar Rp 250,000,- menjadi faktor penambah pengahsilan bruto karyawan, artinya : Tunjangan PPh Pasal 21 merupakan obyek pajak PPh Pasal 21 itu sendiri. Dengan kata lain "Tunjangan PPh Pasal 21 adalah kena pajak". Selanjutnya, untuk menentukan besarnya PPh Pasal 21 yang dipotong pada gaji yang diterima karyawan, maka PPh Pasal 21 sebulan dikurangi dengan Tunjangan Pajak, dalam contoh kasus ini Rp 965,800 - Rp 250,000,- sehingga besarnya PPh Pasal 21 yang dipotong pada gaji karyawan adalah sebesar Rp 715,800,-. Sedangkan selisihnya dibayar oleh perusahaan (sebagai Tunjangan).


Jurnal (Pencatatan) Akuntansi Atas Gaji dan PPh Pasal 21 nya

Perusahaan akan melakukan pencatatan sebagai berikut :


Perhatikan Jurnal dan Buku Besar di atas : Tunjang Pajak diakui sebagai "Biaya Tunjangan Pajak". artinya : Baik pada Laporan Komersial maupun pada Laporan Fiskal, Tunjangan PPh pasal 21 dapat diakui sebagai beban, yang nanti pada "Laporan Laba Rugi Fiskal" untuk PPh badan akan menjadi faktor pengurang "Laba", dan akan mengurangi "Penghasilan Kena Pajak" Perusahaan.

Bagaimana Jika karyawan mendapat subsidi (bukan tunjangan) ?

Jika diperlakukan sebagai "subsidi", maka angka sebesar Rp 250,000,- (Tunjangan Pajak di atas) tidak di ikut sertakan di dalam perhitungan PPh Pasal 21-nya. Dalam kasus ini (disubsidi), besarnya PPh pasal 21 yang dipotongkan pada Gaji karyawan adalah : PPh Pasal 21 bulan ini [dikurangi] Subsidi.

Bagaimana dengan Jurnal Akuntansinya ?

Pada laporan komersial perusahaan, subsidi tersebut tetap dibebankan sebagai biaya yang akan mengurangi net earning perusahaan, akan tetapi pada laporan fiskal subsidi tersebut tidak diakui sebagai beban, melinkan dianggap sebagai natura (kenikmatan) yang diperoleh oleh kkaryawan. artinya : Subsidi tersebut tidak boleh diakui sebagai beban (biaya), sehingga pada laporan PPh Pasal 29 nya, Subsidi pajak merupakan koreksi fiskal positif yang akan menambah PPh Pasal 29 terhutangnya.


Artikel PPh Pasal 21 dengan kasus lainnya :
Perhitungan & Jurnal PPh Pasal 21 - Tunjangan Asuransi [
-baca-]
Perhitungan & Jurnal PPh Pasal 21 - Tengah Tahun
[
-baca-]
Perhitungan & Jurnal PPh Pasal 21 - Bonus / THR
[
-baca-]

Selengkapnya...

Berbeda dengan kasus sebelumnya (Perhitungan & Jurnal PPh Pasal 21 - Tunjangan Asuransi) dimana karyawan bekerja sejak awal tahun pajak, pada kasus kali ini akan dibahas apabila karyawan bekerja mulai pada pertengahan atau setelah awal tahun pajak berlangsung.

Kasus : Pegawai Tetap dengan Tunjangan Asuransi, Pensiun dan Mulai Bekerja Setelah Tahun Pajak Berjalan

Budi, status sudah menikah dengan 2 orang anak, bekerja pada PT. Royal Bali Cemerlang sejak tanggal 01 September 2007, memperoleh Gaji Pokok Rp 10,000,000 setiap bulannya. PT. Royal Bali Cemerlang mengikut sertakan Budi masuk asuransi (JAMSOSTEK), untuk itu PT. Royal Bali Cemerlang membayar :
Premi Jaminan Hari Tua (JHT) = 3.7% dari Gaji Pokok
Premi Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) = 0.5% dari Gaji Pokok
Premi Jaminan Kematian (JK) = 0.30% dari Gaji Pokok

Sedangkan Budi menanggung :
Iuran Jaminan Hari Tua (JHT) = 0.2% dari Gaji Pokok

PT. Royal Bali Cemerlang juga mengikut sertakan Budi ke dalama program pensiun, untuk itu perusahaan membayar premi pensiun untuk Budi sebesar Rp 150,000 setiap bulannya, sedangkan Budi juga harus membayar Rp 100,000 setiap bulannya yang langsung di potongkan dari Gajinya.


Perhitungan PPh Pasal 21 nya

Seperti pada kasus biasa (karyawan bejerja penuh sari awal sampe akhir tahun pajak), pertama-tama kita buat perhitungan atas gaji dan tunjangan-tunjangannya terlebih dahulu, hingga dapat kita tentukan nilai Rupiah yang ditanggung oleh perusahaan maupun yang ditanggung oleh Budi. Maka akan kita peroleh perhitungan sebagai berikut :


Selanjutnya kita mulai hitung PPh Pasal 21-nya. Perhitungan PPh Pasal 21 nya pada dasarnya sama saja dengan jika karyawan bekerja penuh selama satu tahun takwim (fiskal), hanya saja pada saat mensetahunkan pengahsilan netto-nya, nilai penghasilan netto dikalikan dengan jumlah lamanya karyawan bekarja, dalam contoh kasus di atas Budi bekerja dari 01 September 2007, maka dikalikan 4 (01 Sept - 31 Des 2007 = 4 bulan), perhatikan perhitungan dibawah :


Prinsip dasarnya (Penting) :

(-) Pengahasilan Netto dikalikan jumlah bulan bekerja untuk tahun takwim tersebut

(-) PTKP tetap memakai PTKP setahun


Jurnal (Pencatatan) Akuntansi Atas Gaji dan PPh Pasal 21 nya

Atas kasus di atas, maka pada PT. Royal Bali Cemerlang melakukan pengakuan dengan melakukan pencatatan pada buku perusahaan, yang terdiri dari tiga tahap yaitu : Pada saat pembayaran gaji, pada saat menyetor PPh Pasal 21 melalui bank persepsi atau Kantor Post, kemudian pada saat pembayaran JAMSOSTEK dan Dana Pensiun. Perhatikan jurnal di bawah ini :

Penting :

Jika kita perhatikan jurnal di atas, pada saat pembayaran gaji, besarnya PPh pasal 21 yang di akui sebagai hutang PPh Pasal 21, adalah sebesar PPh 21 nya yaitu Rp 91,200,- untuk bulan tersebut, kemudian pada saat penyetoran PPh Pasal 21 nya ke bank persepsi, maka hutang tersebut dilawankan (di catat di sisi debit) bersama sama dengan titipan iuran, sebagai counter entry-nya di sisi kredit adalah kas.

Setelah Pembayaran Gaji, penyetoran PPh Pasal 21 ke bank persepsi, dan pembayaran Asuransi dan dana pension, maka pada buku besar akan nampak sebagai berikut :

Perhatikan Buku Besar di atas :

Yang muncul dibuku besar tetap hanya "Biaya Gaji", "Biaya Tunjangan Asuransi" pada DEBIT dan "Kas" pada sisi kredit sebesar Gaji Pokok + Tunjangan saja.

Mengapa ?

Karena Gaji karyawan untuk bulan tersebut TIDAK BERUBAH, yang berubah hanya pajaknya, sementara PPh pasal 21 hanyalah titipan dan tidak muncul pada Buku Besar. Dan nantinya pada saat penutupan tahun takwim (fiscal year), saat gaji karyawan disetahunkan, maka jumlahnya hanyalah sebesar 4 x (gaji + tunjangan) saja. Pada saat itulah akumulasi pengeluaran kas maupun biaya gaji dan biaya tunjangan akan kelihatan berbeda dibandingkan dengan karyawan yang bekerja penuh selama 1 tahun takwim (12 bulan).

Artikel PPh Pasal 21 dengan kasus lainnya :

Perhitungan & Jurnal PPh 21 - Tunjangan Asuransi [-baca-]

Perhitungan & Jurnal PPh 21 - Tunjangan & Subsidi Pajak [-baca-]

Perhitungan & Jurnal PPh 21 - Bonus / THR [-baca-]

Selengkapnya...

Ini adalah contoh kasus PPh Pasal 21 yang paling umum terjadi di perusahaan-perusahaan.

Kasus
: Pegawai Tetap dengan Tunjangan Asuransi dan Pensiun


Budi, status sudah menikah dengan 2 orang anak, bekerja pada PT. Royal Bali Cemerlang, memperoleh Gaji Pokok Rp 10,000,000 setiap bulannya. PT. Royal Bali Cemerlang mengikut sertakan Budi masuk asuransi (JAMSOSTEK), untuk itu PT. Royal Bali Cemerlang membayar :
Premi Jaminan Hari Tua (JHT) = 3.7% dari Gaji Pokok
Premi Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) = 0.5% dari Gaji Pokok
Premi Jaminan Kematian (JK) = 0.30% dari Gaji Pokok



Sedangkan Budi menanggung :
Iuran Jaminan Hari Tua (JHT) = 0.2% dari Gaji Pokok

PT. Royal Bali Cemerlang juga mengikut sertakan Budi ke dalama program pensiun, untuk itu perusahaan membayar premi pension untuk Budi sebesar Rp 150,000 setiap bulannya, sedangkan Budi juga harus membayar Rp 100,000 setiap bulannya yang langsung di potongkan dari Gajinya.


Perhitungan PPh Pasal 21 nya

Pertama-tama buatlah perhitungan atas gaji dan tunjangan-tunjangannya, hingga dapat kita tentukan nilai Rupiah yang ditanggung oleh perusahaan maupun yang ditanggung oleh Budi. Maka akan kita peroleh perhitungan sebagai berikut :



Selanjutnya kita mulai hitung PPh Pasal 21-nya. Maka akan kita peroleh perhitungan seperti dibawah ini :


Jurnal (Pencatatan) Akuntansi Atas Gaji dan PPh Pasal 21 nya

Atas kasus di atas, maka pada PT. Royal Bali Cemerlang melakukan pengakuan dengan melakukan pencatatan pada buku perusahaan, yang terdiri dari tiga tahap yaitu : Pada saat pembayaran gaji, pada saat menyetor PPh Pasal 21 melalui bank persepsi atau Kantor Post, kemudian pada saat pembayaran JAMSOSTEK dan Dana Pensiun. Perhatikan jurnal di bawah ini :


Setelah Pembayaran Gaji, penyetoran PPh Pasal 21 ke bank persepsi, dan pembayaran Asuransi dan dana pension, maka pada buku besar akan nampak sebagai berikut :




Mengapa pengeluaran PPh Pasal 21 nya tidak muncul pada buku besar PT. Royal Bali Cemerlang ?

Karena PPh Pasal 21 adalah “with holding tax”, perusahaan hanya selaku mandatory, hanya bertindak selaku pemotong, lalu menyetorkannya ke kas negara.

Dengan kata lain, kas yang dikeluarkan untuk pembayaran PPh Pasal 21 adalah titipan karyawan, bukan kas perusahaan lagi, karena jumlah yang dibayarkan adalah dipotongkan dari gaji karyawan. Sedangkan kas perusahaan hanya dikeluarkan sebesar Gaji Pokok dan Tunjangan-tunjangan yang ditanggung perusahaan.


Artikel PPh Pasal 21 dengan kasus lainnya :

Perhitungan & Jurnal PPh Pasal 21 - Tengahan Tahun [-baca-]

Perhitungan & Jurnal PPh Pasal 21 - Subsidi & Tunjangan [-baca-]

Perhitungan & Jurnal PPh Pasal 21 - Bonus / THR [-baca-]


Selengkapnya...


Mengapa perlu diketahui ?

Dengan memahami alur proses pembuatan laporan pajak :
1). Akan mempermudah dalam proses pembuatan laporan itu sendiri.

2). Dapat mengenali bahkan membuat laporan pajak dengan tingkat kesesuaian (persisi?) yang lebih sempurna dan well matched antara satu lembar laporan dengan lembar laporan lain dalam satu jenis laporan pajak.


3). Laporan yang memiliki tingkat kesesuaian yang sempurna akan membuat proses pelaporan di kantor pajak menjadi cepat dan lancar.

4). Akan dapat mengarsipkan dokumen perpajakan dengan lebih sistematis, sehingga akan mempermudah dalam proses pemeriksaan.


Navigasi Laporan Pajak

Pada masing-masing satu jenis laporan pajak, misalnya…. SPM PPn, jika kita perhatikan satu set blanko kosong yang diterima dari DJP, maka susunan isinya akan sebagai berikut :

Laporan Utama : akan selalu berada di halaman paling muka. Semakin kebelakang jenis laporannya akan semakin spesifik. Membutuhkan data-data yang semakin terperinci pula. Dan di halaman-halaman akhir laporan disertai oleh lampiran-lampiran khusus.


Alur Proses Pembuatan Laporan

Deangan melihat navigasi laporan pajak diatas, obviously alur proses pembuatan laporan pajak :
Dimulai dari menyiapkan laporan-laporan pendukung yang paling rinci.

Misalnya :

PPh Pasal 21 : Daftar Gaji dan perhitungan pph-nya, Bukti-bukti pemotongan
PPh Pasal23: Dattar pembagian deviden, deposito, atau persewaan-nya, bukti pemotongannya
PPn : Daftar (Buku) Penjualan dan Faktur Pajak Keluarannya, Daftar (buku) Pembelian dan Faktur Pajak Masukannya, PPn Import dan bukti pemotongan dari Ditjen Bea Cukai.
Dan lain sebagainya……

Jumlah (“Total Nilai”) dari masing-masing daftar, buku, dan bukti-bukti potong diatas, dipindahkan ke blanko- blanko (forms) yang ada di lembar-lembar terakhir pada set laporan.

Selanjutnya, Total Nilai dari masing-masing halaman laporan (pada halaman-halaman terakhir), dipindahkan ke halaman yang lebih di depannya, tentu saja tidak selalu ke halaman yang persis di didepannya, bisa jadi jumping ke halaman paling depan (halaman utama). Ada petunjuk-petunjuk kecil yang menginstruksikan nilai tersebut harus dibawa ke nlanko halaman berapa, baris ke berapa, kolom ke berapa.

Demikian seterusnya hingga sampai kelaporan utama.
Secara singkat, laporan pajak itu di mulai dari halaman yang paling belakang, trus semakin ke depan, hingga ke halaman utama. Dengan mengikuti alur ini, asalkan dikerjakan dengan hati-hati, saya yakin anda akan dapat menghasilkan laporan pajak yang memiliki tingkat perisi dan kesesuaian yang sempurna.
Laporan yang memiliki tingkat kesesuaian (well matched) antar halaman laporan pajak adalah penting untuk menghindari penolakan dari pihak kantor pajak saat pelaporan, akan membuat laporan menjadi lolos masuk tanpa revisi-revisi yang bolak balik.

Alur Proses Pembuatan Laporan dan Pengarsipan

Walaupun topik ini bukan membahas mengenai cara mengarispkan laporan pajak, tidak ada salahnya untuk diketahuai, bahwa cara pengarsipan yang benar susunan-nya seharusnya terurut dari paling depan (atas) sampai ke lembar yang paling dibelakang (bawah) sebagai berikut :

1). Bukti penerimaan laporan (kertas kecil yang ujungnya kuning-kuning :P )


2). Surat Setoran Pajak (SSP) lembar ke-1, yang merupakan bukti pembayaran atas : uang muka pajak, surat tagihan pajak (STP) yang sudah divalidasi oleh Bank Pembayar atau Kantor Post.


3). Slip setoran ke bank (Kantor Pajak) atas pembayaran pajak yang sesuai


4). Laporan Pajak (SPM PPn, SPT PPh 21 Masa, SPT PPh Pasal 29, SPT PPh Pasal 23, SPT PPh Pasal 4 (2), dan lain sebagainya).


5). Bukti Pemotongan ( Untuk jenis pajak yang bertype with holding : PPh Pasal 21, 23, 26, PPn).


6). Daftar-Daftar atau buku pembantu (Daftar aktiva & penyusutannya, daftar Piutang Dagang, daftar Utang Dagang, Daftar Uang Muka ).


7). Laporan Keuangan atau laporan aktivitas tertentu dari perusahaan sehubungan dengan pajak yang dilaporkan.


Bonus :

Konsultan Pajak dan…..Eghhhzzz... (silahkan dibaca saja)
Apakah anda memakai konsultan untuk mengurusi perpajakan?

Rutin menerima laporan dari konsultannya untuk diarsipkan ?

Pernah kah anda memperhatikan susunan laporannya ?. Apakah in order seperti yang saya sebutkan diatas ?. atau diacak (tidak tersusun seperti yang saya sebutkan) ?.
Kalau tidak pernah terurut, cobalah urutkan sendiri, lalu tanyakan kepada konsultannya, “mengapa laporannya tidak tersusun seperti yang seharusnya ?”.

Ada 2 kemungkinan respon yang mungkin akan anda terima :

a). Dia tidak menjawab, akan tetapi dilaporan-laporan berikutnya, dia akan menyusunnya dengan benar. Jika ini responnya, berarti si Bapak/Ibu Konsultan cuma ceroboh, atau terburu-buru.

b). Jangan kaget kalau anda mendapat jawaban : “Ada masalah dengan laporannya?, kan sudah rapi”. Jika ini responnya… KICK HIM/HER OUT. Cari konsultan lain, atau mulai proceed in house, alias tidak memakai konsultan :-) why not..?

Regardless, mau proses di dalam atau pakai konsultan yang lain, yang jelas…. Praktek konsultan seperti itu tidak benar, berusaha menghalangi WP untuk memahami alur proses pembuatan laporan pajak.

Selengkapnya...

Bagi seorang Pemeriksa Pajak (tax auditor) maupun bagi Praktisi Perpajakan, istilah ekualisasi pajak tentu sudah tidak asing lagi, tapi bagi sebagian orang yang lainnya (mungkin sebagian besar) walaupun sudah pernah belajar mata kuliah perpajakan, bahkan pegawai accounting sudah pernah membuat laporan pajak, tetapi belum mengetahui Ekualisasi Pajak.



Untuk maksud itulah tulisan ini dibuat ("bapak-bapak auditor pajak atau praktisi perpajakan yang terhormat....... ijinkanlah saya membagi pengetahuan ini untuk teman-teman pembaca blog ini, agar mereka tidak tersesat seperti saya dahulu. Bukankah ini juga akan meringankan bapak-bapak dalam melakukan pemeriksaan :-P :-P ?" ).


Apa itu “Ekualisasi Pajak” ?

Secara sederhana bisa dikatakan ekualisasi pajak adalah pemeriksaan tingkat keseimbangan antara satu jenis pajak dengan jenis pajak yang lain yang memiliki hubungan. Yang dimaksud hubungan disini adalah elemen laporan suatu jenis pajak merupakan bagian dari laporan jenis pajak yang lain (baik itu sebagian maupun keseluruhan).
Ekualisasi yang biasa dilakukan dalam proses pemeriksaan ada 2 (dua) yaitu :

(-) Ekualisasi PPn dengan Omset (Penjualan) PPh Pasal 25 & 29
(-) Ekualisasi PPh Pasal 21 dengan Pengakuan Biaya Gaji dan Upah Tenaga Kerja Langsung pada "
Laporan Laba Rugi"


Ekualisasi "PPh Pasal 21" dengan Pengakuan Biaya Gaji dan Upah Tenaga Kerja Langsung pada "Laporan Laba Rugi"

Ini adalah Penyeimbangan antara Laporan PPh Pasal 21 dengan Ongkos Tenaga Kerja Langsung (Direct Labour Cost) dan Biaya Gaji (Payroll Expenses)

Perhatikan screen shoot dibawah :

Pada SPT PPh Pasal 21 –nya, wajib pajak (Perusahaan) melaporkan adanya Penghasilan Bruto Karyawan hanya sebesar Rp 1,886,635,413 saja, sementara itu……..

Pemeriksa menemukan pengakuan Upah Langsung sebesar Rp 881,301,625,- dan Biaya Gaji sebesar Rp 1,109,454,000,- sehingga Total Obyek PPh Pasal 21 diakui oleh WP (Perusahaan) seharusnya sebesar Rp 1,990,755,625,-. Untuk itu pemeriksa melakukan koreksi atas Penghasilan Bruto Pada Laporan PPh Pasal 21 WP sebesar Rp 104,120,212,-

Andai saja……….

Perusahaan menyadari bahwa antara Penghasilan Bruto pada Laporan PPh Pasal 21 dengan pengakuan Biaya Gaji & Ongkos Tenaga Kerja Langsung pada Laporan Laba Rugi PPh Pasal 29, harus seimbang, tentu perusahaan akan membuat laporan sebagai berikut :

PPh Pasal 21 : Pengahsilan Bruto Karyawan Rp 1,886,635,413,-
PPh Pasal 29 :
- Upah Tenaga Kerja Langsung Rp 886,635,413,-
- Biaya Gaji Rp 1,000,000,000,-

Tentu koreksi sebesar Rp 104,120,212 TIDAK PERLU TERJADI bukan ? :-) :-)


Ekualisasi PPn dengan Omset (Penjualan) PPh Pasal 25 & 29

Ini adalah ekualisasi yang memeriksa antara “Laporan PPn” dengan “Pengakuan Omset (Penjualan) Dalam Negeri” perusahaan.

Perhatikan Screen shoot dibawah ini :

Temuan Penjualan sebesar Rp 8,593,213,094,- pada Laporan PPh Pasal 29, harus diikuti dengan temuan penjualan sejumlah yang kurang lebih sama pada Laporan PPn.

Karena Wajib Pajak hanya mengakui penjualan sebesar Rp 3,160,772,250 saja pada Laporan PPh Pasal 29 –nya, maka pemeriksa melakukan koreksi sebesar Rp 5,432,440,844. Pada PPn pun pemeriksa juga melakukan koreksi yang kurang lebih sama dengan yang dilakukan pada PPh Pasal 29 –nya. Dengan demikian maka Laporan PPn dengan Laporan PPh Pasal 29-nya sudah “equal” atau “Sesuai”atau “berimbang”.

Baca juga artikel lain mengenai : Alur Proses Pembuatan Laporan Pajak [-baca-]
Short Description :
Artikel yang memberi pengetahuan praktis mengenai pehaman dan menavigasi laporan pajak, agar laporan pajak anda menjadi lebih precisely antar satu halaman dengan lembar halaman yang lain, penting untuk memuluskan proses pelaporan di kantor pajak [-baca-]

Selengkapnya...